TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH : SEJARAH IBNU SINA
NAMA MAHASISWA/NIM :
Fuad Hanif Hidayat
JURUSAN : TEKNIK INFORMATIKA
STT IBNU SINA BATAM
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas
kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi
kesempatan untuk bekerja sama untuk menyelesaikan makalah ini. dimana makalah
ini merupakan salah satu dari tugas mata kuliah yaitu Sejarah Ibnu Sina.
Makalah ini disusun dan dibuat
berdasar materi-materi yang sudah ada,yang bertujuan untuk menambah pengetahuan
dan wawasan kepada pembaca dalam belajar sejarah seorang filsafat serta
memberikan pemahaman tentang nilai-nilai dasar yang dapat di refleksikan dalam
berfikir dan bertindak.
Mudah-mudahan dengan
mempelajari/membaca makalah ini,para pembaca mampu menhadapi masalah-masalah
atau kesulitan yang muncul dalam belajar.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, Oleh karna itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Tidak
lupa Penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikianlah yang penulis dapat paparkan dalam makalah ini
kalau ada kata yang kurang mohon di maafkan sekian dan terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................ 3
BAB I. Pendahuluan ............................................................................................ 4
A. Latar Belakang ............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
C. Tujuan ............................................................................................................. 5
A. Latar Belakang ............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
C. Tujuan ............................................................................................................. 5
BAB II. Pembahasan........................................................................................
6
A. Biografi Ibnu Sina.......................................................................................... 6
A. Biografi Ibnu Sina.......................................................................................... 6
1.Latar belakang Kehidupan Ibnu Sina........................................................... 6
2.Karya-karya Ibnu Sina................................................................................. 9
B.
Filsafat Ibnu Sina........................................................................................... 13
BAB III PENUTUP............................................................................................. 26
A. Kesimpulan...................................................................................................... 26
B. Saran................................................................................................................ 27
B. Saran................................................................................................................ 27
Daftar Pustaka....................................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak selamanya ilmuwan berasal dari negeri Barat. Sebab yang berasal dari
Timur Tengah pun tidak kalah jumlahnya. Salah satu ilmuwan dari belahan benua
ini adalah Ibnu Sina. Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok
Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh penghargaan yang
tinggi hingga masa modern.
Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang
kedokteran, akan tetapi beberapa kajian yang dilakukan oleh generasi sesudahnya
tentang pemikiran Ibnu Sina ditemukan beberapa pemikirannya tentang konsep
pendidikan Islam. Oleh sebab itu, Ibnu Sina juga tercatat sebagai salah satu
tokoh pendidikan Islam yang memiliki pemikiran brilliant.
Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam memang telah banyak dikaji
oleh para ahli, tetapi tidak berarti kajian tersebut berhenti di situ saja.
Pemikiran Ibnu Sina yang tertulis dalam karya-karyanya akan tetap relevan untuk
dianalisis hingga saat ini sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi yang bersifat solutif terhadap berbagai
permasalahan pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan kami
jelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran Ibnu Sina dalam pendidikan Islam.
B. Rumusan
Masalah
1)
Siapakah Ibnu Sina?
2)
Apa saja Karya-karya yang dihasilkan
ibnu sina?
3)
Apa saja
pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina?
C. Tujuan
a) Untuk mengetahui sejarah singkat
tentang Ibnu Sina.
b) Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina.
c)
Untuk mengetahui pemikira filsafat yang di
kemukakan oleh Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IBNU SINA
1.
Latar belakang Kehidupan Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu
Ali Al-Husayn ibn Abdullah, dalam sejarah pemikiran Islam Ibn Sina dikenal
sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar, ia lahir pada 370 H.
Bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak dekat
Bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana
terhormat Ismaili, berasal dari Balk, Khurasan, dan pada saat kelahiran
putranya dia adalah gubernur di salah satu pemukiman, sekarang wilayah
Afganistan ( dan juga Persia) menginginkan putranya dididik dengan baik di
Bukhara.
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu
Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Dikalangan masyarakat barat
ia dikenal dengan nama “Avicienna”. Selain sebagai ahli kedokteran, Ibnu Sina
juga dikenal sebagai filosof, psikolog, pujangga, pendidik dan sarjana Muslim
yang hebat.
Ibnu Sina belajar filsafat dari Abu
Abdillah an-Natili, seorang filosof kenamaan yang kebetulan sedang berkunjung
ke Bukhara. Beliau diminta ayah Ibnu Sina tinggal di kediamannya untuk
mengajarkan filsafat pada anaknya. Dalam waktu yang singkat Ibnu Sina berhasil
menguasai filsafat sehingga membuat kagum gurunya.
Tetapi sebelum itu, Ibnu Sina sudah
tekun mempelajari ilmu fiqih dari seorang ulama besar bernama Ismail yang
tinggal di luar kota Bukhara. Dengan semangat yang tinggi, Ibnu Sina tidak
keberatan harus bolak-balik ke rumah gurunya. Kecerdasan Ibnu Sina semakin
terlihat saat beliau berusia 16 tahun. Ia sudah sanggup menerangkan kembali
pada gurunya isi dari buku Isagoge (ilmu logika), buku al-Mages (ilmu astronomi
kuno) dan buku Ecludis (ilmu arsitektur).
Beliau memang benar-benar murid yang
cerdas. Di depan guru-gurunya, ia dapat menerangkan rumus-rumus dan berbagai
kesulitan yang terdapat dalam buku-buku tersebut. Bahkan konon dalam bidang
ilmu astronomi (perbintangan), beliau sudah sanggup menciptakan sebuah alat
yang belum pernah dibuat para ahli sebelumnya.
Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu
alam dan ketuhanan, Ibnu Sina pun merasa tertarik untuk mempelajari ilmu
kedokteran, mulai mendik di bidang kedn, sehingga dalam waktu singkat ia meraih
hasil yang luar biasa. Berkat ketekunan dan semangatnya yang tinggi dalam
mempelajari ilmu tersebut, Ibnu Sina sanggup mengobati orang-orang yang sakit.
Semakin lama nama Ibnu Sina semakin
terkenal, bukan saja disekitar Bukhara melainkan juga diberbagai pelosok
wilayah. Orang-orang yang tertarik di bidang kedokteran mulai mendatangi Ibnu
Sina untuk menimba ilmu darinya. Mereka juga mengadakan eksperimen-eksperimen
mengenai berbagai cara pengobatan dibawah pengawasan dan bimbingan Ibnu Sina.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan
nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai
dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar
“the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama
Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof).
Meskipun ia di akui sebagai seorang
tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras
itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang
karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum
tidak demikian malah menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal,
al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu
wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan
ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk
memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan
aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan
menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58
tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. Beliau
pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia
dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh
dari peradaban besar Iran di zamannya.
2.Karya-Karya
Ibnu Sina
Karya-karya Ibnu Sina yang
termasyhur dalam Filsafat adalah As-Shifa. As- Syifa’ (
The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku
tentang Penyembuhan).Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio,
atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya
sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22
tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4
bagian, yaitu :
1. Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar
karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari
penulis - penulis Yunani kemudiannya.
2. Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian
Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
3. Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari
elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar -
ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
4. Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan
pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar
percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran
filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
Selain buku itu,ada buku karya
ciptaan ibnu sina,yaitu An-Najat dan Al-Isyarat. An-Najat adalah ringkasan
dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, berisikan tentang logika dan hikmah.Lain dari
pada itu, ia banyak menulis karangan- karangan pendek yang dinamakan Maqallah.
Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam
sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.
Walaupun ia sibuk dengan soal
negara, tetapi ia berhasil menulis sekitar dua ratus lima puluh karya.
Diantaranya karya yang paling masyhur dalam bidang kedokteran adalah
“Al-Qanun” yang berisikan pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di
Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universitas Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “As-Syifa”.
Dalam sejarah kehidupannya, Ibnu
Sina juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif dalam
menghasilkan berbagai karya buku. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh
cabang ilmu pengetahuan, diantarannya ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa,
fisika, logika, politik dan sastra arab. Adapun karya-karyanya sebagai berikut
:
- Kitab Qanun fi al-Thib, merupakan karya ibnu sina dalam bidang ilmu kedokteran. Buku ini pernah menjadi satu-satunya rujukan dalam bidang kedokteran di Eropa selama lebih kurang lima abad. Buku ini merupakan iktisar pengobatan Islam juga diajarkan hingga kini di Timur. Salah satu karya terbesar Ibnu Sina ialah al-Qanun Fii al-Tibb (peraturan kedoktoran). Di Eropah dan China buku ini sudah lama menjadi rujukan kedoktoran. Al-Qanun Fii al-Tibb diterjemahkan dengan judul Canon of Medicine digunakan sebagai rujukan utama dalam bidang perubatan di seluruh pusat pengajian Barat termasuk Universiti Franfurt di Jerman, Universiti Paris di Perancis, dan Universiti Oxford di England. Di dalam buku al-Qanun Fii al-Tibb karya Ibnu Sina dinyatakan bahawa “darah mengalir terus-menerus dalam satu kitaran dan tidak pernah berhenti”. Karya lain Ibnu Sina ialah al-Syifa (18 Jilid), iaitu tentang psikologi, pertanian, retorika dan syair; al-Rasa’il, iaitu tentang biologi, fizik, astronomi, psikologi, etika dan teologi; Al-Insyarah wa al-Tanbihat, tentang ketuhanan serta kemurnian hidup; dan Risalah al ‘Isyqa tentang kerinduan Ibnu Sina kepada Tuhan.
- Kitab As-Syifa, merupakan karya ibnu sina dalam bidang filsafat. Kitab ini antara lain berisikan tentang uraian filsafat dengan segala aspeknya
- Kitab An-Najah, merupakan kitab tentang ringkasan dari kitab As-Syifa, kitab ini ditulis oleh ibnu sina untuk para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah, selain itu buku ini juga secara lengkap membahas tentang pemikiran Ibnu Sina tentang ilmu Jiwa.
- Kitab Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah, merupakan karya Ibnu Sina dalam bidang ilmu fisika. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab juga masih tersimpan dalam berbagai perpustakaan di Istanbul, penerbitannya pertama kali dilakukan di Kairo pada tahun 1910 M, sedangkan terjemahannya dalam bahasa Yahudi dan Latin masih terdapat hingga sekarang.
- Kitab al- Isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Kemudian, diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman.
- Buku mengenai politik seperti: Risalah As-Siyasah, Fi Isbati an-Nubuwah, Al-Arzaq,
- Buku mengenai Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas, Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-Mu’awizataini, Surah al-A’la.
- Buku tentang Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat, al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa Shaghir.
- Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
- Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
Ibnu Sina banyak menyumbang dalam
tamadun Islam terutamanya dalam bidang perobatan. Kebijakan Ibnu Sina dalam
bidang perobatan mendapat perhatian dunia. Ibnu Sina berjaya melakukan beberapa
pencapaian dalam perobatan yaitu pertama, penemuan penyakit baru. Antara
penemuan penyakit yang dikaji oleh Ibnu Sina ialah pengaruh kuman dalam
penyakit, jangkitan virus seperti Tibi (TB), dan penyakit seperti rubella,
alahan (allergy), cacar (smallpox), penyakit jiwa dan sebagainya.Kedua, Ibnu
Sina mengkaji dalam bidang farmasi dan beliau dapat menghasilkan obat yang
mujarab untuk berbagai jenis penyakit. Selain itu, beliau juga menemui untuk obat
bius. Ketiga, Ibnu Sina membangunkan teknologi perobatan dengan membuat benang
khusus untuk menjahit luka pembedahan dan lain-lain. Terdapat banyak lagi
penemuan dan teori perobatan yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dalam
karya-karyanya. Kesan peninggalan Ibnu Sina dalam bidang ilmu perobatan telah
berjaya. Beliau melakukan metode penelitian (observation) dan analisis.
Berdasarkan metode ini, ilmu perobatan berkembang maju hingga sekarang. Ibnu
Sina telah menulis buku berjudul Remedies for the Heart yang mengandung
sajak-sajak perubatan.
Ibnu Sina banyak membuat analisis
tentang berbagai penyakit dan menyebutkan lebih kurang 760 jenis penyakit serta
kaedah merawatnya. Penyelidikan dan penulisan Ibnu Sina banyak mempengaruhi
perkembangan ilmu perobatan moden. Ibnu Sina juga banyak telah menyumbang ilmu
dan pemikiran. Ibnu Sina telah menghasilkan 116 karya dalam bidang falsafah,
mantik, matematik, astronomi, kimia, fisika, biologi dan sains politik. Buku-buku
tersebut telah dihimpun oleh Domonican Institute for Oriental Studies di
Kaherah, Mesir. Pada 1950 Masehi ia telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dan dinamakan Muallafat Ibni Sina (karya-karya Ibnu Sina). Jasa Ibnu Sina
dihargai hingga hari ini.
B.FILSAFAT IBNU SINA
1. Filsafat
Jiwa
Ibnu Sina
memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana
yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal - soal kejiwaan
ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak
sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang
kejiwaan, seperti pikiran - pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri
atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika
maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi
fisika, ia banyak memakai metode eksperimen
dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi
metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati
pendapat - pendapat filosof modern.
Pengaruh
Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir
Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana
Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama,
dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian
seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh
memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal
pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran
ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau
ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti
bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu
mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya
pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau
dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud
adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak
ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan
bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak
ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya
bayangan.
Kalau kaum
Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan
dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof
Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum
sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau
Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini,
maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang
banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi.
Menurut
al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan
kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya
adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud
kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata
Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya,
agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.
Ibnu Sina
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual
of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai
tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya
sebagai mungkin wujudnya.
Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal -
akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa
dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa
manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi
kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu
:
A. Segi fisika yang
membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa
manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain
dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
B. Segi
metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1. Jiwa tumbuh -
tumbuhan (an-Nafsul
Nabatiyah) dengan daya - daya :
-
Makan (nutrition)
-
Tumbuh (growth)
-
Berkembang biak (reproduction)
2. Jiwa binatang (-Nafsul Hayawaniah) meliputi
beberapa daya :
a.
Gerak (locomotion)
b.
Menangkap (perception) dengan dua bagian :
- Menagkap dari luar dengan panca indera
- Menangkap dari dalam dengan indera -
indera dalam.
c. Indera bersama yang menerima segala apa
yang ditangkap oleh panca indera
d. Representasi yang menyimpan segala apa
yang diterima oleh indera bersama
e.
Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
f. Estimasi yang dapat menangkap hal - hal
abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari
anjing serigala.
g. Rekoleksi yang menyimpan hal - hal
abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa manusia
(an-Nafsul Natiqah) meliputi
dua daya :
Ø Praktis yang
hubungannya dengan badan
Ø Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai
potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk
berfikir tentang hal - hal abstrak.
c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal
- hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir
tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan
kesempurnaan.
Menurut Ibnu
Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang
sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih
berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berfikir.
Sedangkan
menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya dia menyatakan bahwa
manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya. Adapun yang
dimaksud tentang al-Nafs adalah
“substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat
bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr.
Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi
fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik
adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung
kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan
bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi
dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan
bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua
disebut jiwa (al-nafs).
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai
derivatnya dan atas dasar tingkatan daya– daya tersebut, pada diri manusia
terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah)
:
Pertama jiwa
tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah)
merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya 1) daya
nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh
(al-munmiyah) dan 3) daya reproduksi
(al-muwallidah), dengan daya ini
manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh–
tumbuhan.
Kedua, jiwa
hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah)
yang memiliki dua daya 1) daya penggerak
(al-mukharikah) dan 2) daya persepsi
(al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi
yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah)
dan 2) daya berbuat (al-fa’ilah).
Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya
potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai
aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan
kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa
rasional (al-nafs al-natiqah).
Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah)
dan 20 daya teoritis (al-alimah).
Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive /
hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities.
Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah,
sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql.
Al-‘alimah disebut juga akal praktis.
Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada
daya penggerak.
Al-Ghazali
didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal
20 buah kesalahan para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang
berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini
terbagi kedalam tiga kelompok :
1. Filosof –
filosof materialistik (dahriyyun)
Mereka
adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam
dan terciptanya alam dengan sendirinya.
2. Filosof –
filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).
Mereka
melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang
menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset
itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya
sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha
Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan,
kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan
dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.
3. Filosof –
filosof teis (ilahiyyun).
Mereka
adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles.
Aristoteles telah mengkritik filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk
Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih
mempertahankan sisa– sisa kekafiran dan kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya.
Filsafat
Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan
komentator – komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu
Sina terbagi ke dalam 3 kelompok :
a. Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang
kufur.
b. Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam
adalah bid’ah.
c. Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak
perlu disangkal.
Tiga masalah
yang menyebabkan kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa
Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal –
hal yang kecil - kecil.
Kedua, bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan.
Ketiga, bahwa di akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh
manusia bukan jasadnya
Ada empat
dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :
1. Dalil alam -
kejiwaan (natural psikologi).
2. Dalil Aku dan
kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3. Dalil
kelangsungan (kontinuitas).
4. Dalil orang
terbang atau orang tergantung di udara
Dalil –
dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1. Dalil Alam
Kejiwaan
Pada diri
kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui
adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak ada
dua macam yaitu :
1) Gerak paksaan (harakah
qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa
sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2) Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi
dua yaitu :
a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam,
seperti jatuhnya batu dari atas ke
bawah.
b. Gerak yang
terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di
bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung
yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di
atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki
adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak.
Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan
(pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh
sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan –
kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil
natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics,
kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil
Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa
natural (physic) pada dalil tersebut
dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda
tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda
tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka
tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang
bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan
berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat –
alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam,
namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut
berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya.
Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan
tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi
(kejiwaan).
Nampaknya
Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam
kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia
lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan
jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala
Kejiwaan.
Menurut Ibnu
Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara
kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika
kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau
pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini
mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa
depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan
kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga
ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah
lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan –
gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai
pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa
jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik
yang tetap.
Ibnu Sina
dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang
paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam,
bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut
dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.
4. Dalil Orang Terbang atau
Tergantung di Udara.
Dalil ini
adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya
kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan,
namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut
mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang
penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat
melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di
udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun
ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu
ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya.
Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang
wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau
panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau
pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan
kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul
dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang
berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu
Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu
hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara –
perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari
segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya
sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya
perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan
langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun
sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya
jiwa tersebut.
2. Filsafat Wujud Ketuhanan.
Dalam paham Ibnu Sina,essensi
terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat
tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi
dan wujud dapat dibagi :
- Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.
- Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
- Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud).
Disini essensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi
tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya
dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib
mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan
mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud wajib dan
mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun antara
lain: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang
wujud Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang yang
ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak
awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan
baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak Qadim,
sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat
perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana
para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama
tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu
Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran
Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak
kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman
dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372) dijelaskan
bahwaadanyawajib wujud (Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi,
sehingga tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib
dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru,
tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru.Perbuatan
Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran
Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah
diciptakan.
Kedua,
perbuatan Ilahi itu tidak mempunyai tujuan apapun. Sehingga adanya alam
merupakan perbuatan mekanis belaka atas adanya wajib al-wujud.
Ketiga, jika
perbuatan Ilahi telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, maka akan
terbentuk “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu
pilihan dan kehendak bebas.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi
wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya
dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah),
luzum (mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh
Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia
berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab
pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab
tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak
ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
3. Filsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya
gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah
diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”,
keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita
petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut
tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu
Sina diberi nama al hads yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia
dan terdapat hanya pada nabi - nabi.
Jadi wahyu
dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi
orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol.
Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan
wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang
memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan
maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu,
nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi –
memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagianUzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian
besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan
Diantara karya
dari ibnu sina yang terpenting adalah
1) Al – syifa’ latinnya
sanatio (penyembuhan)
2) Al- Najah, latinnya salus (penyelamat),
keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai
logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah
diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas
di Eropa sampai abad XVII
5) Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais li al- Amir
7) Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia
merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat
menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat
pada badan.
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang
kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih
unggul dari filosof, karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa
latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan
susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
B.Saran
Orang bijak
mengatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Tidak ada sesuatupun dijagad
raya ini yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Begitu pula
dengan penyajian makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan-masukan yang berupa kritik maupun
saran yang bersifat membangun guna pembuatan makalah selanjutnya. Sehingga
penulis dapat membenahi sedikit demi sedikit kesalahan maupun kekurangan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Nasution , Harun. 1992. Falsafat dan Mistisme
dalam Islam. (Jakarta : Bulan Bintang)
-Zaenal
Abidin, Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang,
1949)
-Zar,Sirajuddin.
2009. Filsafat Islam Filosof of Filsafatnya. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada).
-id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina
0 komentar:
Posting Komentar